Jumat, 2 Agustus 2013,
sekitar jam 7 malem lewat beberapa menit, saya sedang berada di sebuah tempat
makan di daerah Dipatiukur. Saat itu saya sedang bersama 3 teman saya, membahas
beberapa hal yang memang sudah seharusnya untuk dibahas sambil sesekali meneguk
minuman yang memang sengaja dipesan atau membakar beberapa rokok.
Tempat makan ini biasanya
ramai, apalagi jam-jam setelah buka puasa sampai kira-kira jam 9 malem. Namun hari
ini tampak sepi, hanya dua meja saja yang terisi, sepertinya orang-orang sudah
pulang ke kampungnya masing-masing, karena beberapa hari lagi lebaran akan
datang.
Sebagai tempat makan,
ataupun tempat diskusi, tempat ini cukup memenuhi standar kami, selain
makanannya yang murah, tempat ini juga bersebelahan dengan Universitas
Padjajaran, yang menyebabkan banyak sekali mahasiswi-mahasiswi Unpad yang
mampir ke tempat makan ini. Lumayan lah bisa sambil ngeceng kalo makan di
tempat ini.
Namun, ada yang menyebalkan
dari tempat makan ini, setiap 20 menit sekali selalu ada pengamen ataupun
pengemis yang datang ke tempat makan ini, alhasil kita harus sedia recehan agak
banyak kalo ke tempat makan ini. Seperti malam ini, baru nongkrong 2 jam udah
ada sekitar 5 sampai 6 pengamen atau pengemis. Ada yang ngamen pake gitar, pake
suling, ada yang tiba-tiba ngasih amplop, yang di muka amplopnya ada tulisan, “minta
sedekahnya, untuk pulang ke kampung halaman, terima kasih”.
Menjelang malam, pengamen
dan pengemis sudah tidak ada, makanan di meja sudah habis, namun minuman masih
disisakan sedikit, sengaja ga diabisin biar kita masih bisa nongkrong di tempat
ini. Namun ternyata masih ada pengemis lagi. Kali ini pengemisnya 2 orang anak
kecil, yang satu kira-kira berumur 6 tahun, yang satu lagi sekitar 9 tahun. Tapi
mereka ga berani masuk, malah diem diluar. Akhirnya saya panggil aja mereka ke
dalem. Yang umurnya lebih kecil langsung nyamperin, sedangkan yang agak gede
malah duduk di kursi luar.
“namanya siapa jang ?”.tanya saya.
“Alfian”, jawab si anak
kecil yang penampilan luarnya begitu dekil.
“kenapa malem-malem gini
masih diluar, ga pulang ke rumah?”
“mau nyari uang dulu, baru
nanti pulang ke rumah”, kata itu bocah sambil ngelap ingusnya.
“rumahnya dimana gitu? Ga sama
mamahnya?”
“rumah di Ciparay, mamah mah
ada di rumah”
“jauh geuning jang,
kesininya pake apaan?” saya nanya lagi
“iya jauh, kesini pake
angkot”.
Saya sama temen-temen saya
pada ngasih uang ke anak kecil itu. Si anak kecil itu pun langsung pergi. Meski
sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan. Saya sangat terhenyak ketika
anak kecil itu bilang kalo rumahnya di ciparay. Gila men, Ciparay ke Dipatiukur
itu jauh banget, bisa ngabisin waktu kira-kira 3 jam dari ciparay keDU. Itu dua
anak kecil nyari duit sampai segitunya. Sebenernya kemana sih orangtuanya? Kenapa
ngebiarin anak sekecil mereka untuk nyari duit, duh tega bener deh.
Ketika
anak kecil dipaksa/terpaksa untuk menjalani kehidupan yang keras
Sebenarnya bukan hal baru
bagi saya mendengar cerita-cerita anak-anak kecil model kaya gitu. Sudah 1
tahun lebih saya bergabung dengan komunitas yang peduli dengan anak jalanan,
komunitas Save Street Child Bandung namanya. Selama 1 tahun lebih itu pula saya
seringkali mendengar cerita-cerita miris tentang anak-anak jalanan. Kehidupannya
benar-benar keras dan liar. Lebih liar dari yang saya bayangkan sebelumnya. Sebagai
contoh, saya akan menceritakan kisah tentang salah satu anak asuh di Save
Street Child Bandung ini.
Namanya Adrian, umurnya 16 tahun. Dia anak
ke 2 dari 3 bersaudara. saat umurnya menginjak usia 3 tahun, ia beserta kakak
dan adiknya yang masih 1 tahun di buang oleh bapaknya di sekitar daerah kiaracondong.
Pada masa-masa itu dia pernah tidak makan beberapa hari karena tidak punya
uang. Dia pun tidak tahu bagaimana caranya mencari uang. Namun, setelah dia
melihat banyak orang yang mencari uang dengan mengamen, dia dan kakaknya pun
ikut-ikutan untuk mencari uang dengan mengamen. Sedangkan adiknya dia titipkan
ke ibu-ibu yang juga hidup dijalanan. 13 tahun hidup dijalanan bukanlah hal
yang mudah tentunya. Ia harus berusaha keras untuk bisa bertahan hdup. Lingkungan
dijalanan yang banyak sekali hal-hal yang negatif membuat ia pun akhirnya
terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti ngelem, ngedestro, atau bahkan
meminum-minuman keras.
|
Adrian |
Cerita ini hanyalah salah
satu contoh dari banyaknya cerita-cerita miris yang saya dengar. Mengapa semua
itu terjadi? Saya tahu, kalian pun pasti tahu jawabannya, bahwa pada keadaan
tertentu “Kemiskinan” sanggup membuat orang melakukan apa saja. "kemiskinan" lah yang membuat orangtua Alfian tega menyuruh Alfian mencari uang dari Ciparay ke Dipatiukur. Dan “kemiskinan”
itu pula lah yang membuat Adrian harus mencari peghidupan di jalanan,
sampai-sampai ia harus terjerumus ke hal-hal yang negatif.
Salah siapa ini? Pemerintah?
Tentu saja kita akan bilang bahwa ini adalah tanggung jawab pemerintah,
bukankah dalam UUD 1945 pasal 34 telah disebutkan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun nyatanya fakir miskin dan
anak-anak terlantar memang benar-benar “dipelihara” oleh negara, sehingga
jumlah mereka semakin banyak. Jangan terlalu berharap sama pemerintah deh,
mereka terlalu sibuk untuk mengkayakan diri mereka sendiri, untuk ngurusin
rakyat-rakyak kecil kaya Adrian mereka ga ada waktu, bahkan mereka tidak
peduli.
Ada banyak orang semodel
Adrian di Indonesa ini, tapi terus terang, Cuma sedikit orang yang paham betul
bagaimana realitas sosok kemiskinan yang sebenarnya, seperti yang Adrian alami
! begitu keras dan kejam !. Dan bahkan jauh lebih sedikit lagi orang-orang yang
betul-betul ingin mengetahuinya serta mau mempedulikannya. Pemerintah, tidak
peduli, partai-partai poltik, juga tidak peduli, mereka sibuk
menghambur-hamburkan uang untuk kampanye. Membicarakannya sih mungkin saja,
tapi apakah benar-benar peduli ??
Lalu kita, apakah kita
peduli dengan orang-orang seperti Adrian? Jika peduli berbuatlah sesuatu. Atau malah kita juga sibuk, sehingga tidak ada
waktu untuk peduli dan mengurusi orang-orang seperti Adrian? Tentu saja kita
sibuk, sibuk untuk kuliah, sibuk kerja, sibuk untuk pacaran, sibuk update
status di facebook sama di twitter, sibuk ngurusin hati yang lagi galau, sibuk
nongkrong dengan kawan-kawan, sibuk belanja baju dengan model terbaru, dan
masih ada sibuk-sibuk lainnya yang bisa dijadikan alasan.
Apa kita masih tidak tahu
atau pura-pura tidak tahu, tentang betapa buruk, jahat dan mengerikannya
kemiskinan di sekitar kita?? Atau kita sudah berhenti menjadi orang yang selalu
menolong orang miskin? Ah, entahlah. .
Sedikitnya, marilah kita berbuat sesuatu untuk mereka. .
“Tahukah
kamu ( orang ) yang mendustakan Agama?. Maka itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang Shalat, ( yaitu ) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat
ria, dan enggan ( memberikan ) bantuan”. ( QS Al-Ma’un : 1-7 )